PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sering kita temui peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kemerdekaan dan demokrasi, banyak perhelatan demokrasi di negara yang katanya merdeka ini, namun apakah demokrasi yang berlangsung selama ini sudah memenuhi syarat-syarat pelaksanaan demokrasi. Banyak pertentangan terhadap pelaksanaan demokrasi di negara ini, karena masih banyak kesimpangsiuran tentang demokrasi itu sendiri. Ternyata sudah banyak usaha yang telah dilakukan oleh badan-badan yang berwenang untuk melakukan pendidikan demokrasi baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Banyak, diperbincangkan lewat tulisan di media massa maupun forum-forum diskusi dan seminar. Bahkan uji coba pendidikan demokrasi yang dimodifikasi dalam bentuk civic education (pendidikan kewarganegaraan) telah mulai dilakukan di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan perguruan tinggi. Sementara pendidikan demokrasi lewat jalur informal sudah banyak diprakarsai oleh organisasi – organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah serta ormas keagamaan sejenis lainnya. Tetapi kenyataannya masih menyimpang dari nilai-nilai luhur Pancasila. Lantas pertanyaannya, masih perlukah pendidikan kewarganegaraan diberikan kepada peserta didik? Jawabannya tentu masih dan sangat penting, karena saat ini, Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan utama, antara lain : tantangan dan mainstream globalisasi, permasalahan-permasalahan internal seperti korupsi, separatisme, disintegrasi dan terorisme dan yang terakhir penjagaan semangat reformasi tetap berjalan pada jalurnya.
Fenomena ini tidak lepas dari pengaruh trend civic education di negara-negara yang telah maju dalam berdemokrasi seperti Amerika, Inggris, Australia, dan negara-negara di Eropa. Gejala ini setidaknya merupakan indikator akan semakin besarnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya demokrasi sebagai sebuah nilai dan mekanisme hidup bersama sesama warganegara. Sejalan dengan momentum transisi menuju demokrasi seperti ini dianggap sebagai kesempatan paling baik untuk membangun demokrasi di Indonesia. Bagaimana untuk membenahi semua ini?, inilah yang menjadi PR pemerintahan dan rakyat Indonesia.
B. Permasalahan
Sudah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk warganegara indonesia menjadi warga yang baik terutama dalam berdemokrasi, salah satunya dengan memberikan dan mewajibkan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah, tetapi selama ini masih banyak indikasi-indikasi yang menunjukan belum suksesnya implementasi PKn. Mengapa PKn belum berhasil dalam implementasinya, inilah yang akan kita bahas dalam makalah ini.
C. Tujuan
Dengan kita mengetahui mengapa sekarang ini Pendidikan kewarganegaraan belum berhasil dalam implementasinya, diharapkan kita sebagai calon guru bisa mencari dan menerapkan solusi yang tepat untuk memperbaiki pelaksanaan PKn didalam pembelajaran.
PEMBAHASAN
PKn GAGAL DALAM IMPLEMENTASINYA
A. Pengetahuan Umum Tentang PKn
Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk pendidikan yang memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku universal, di mana prinsip umum demokrasi yang mengandung pengertian mekanisme sosial politik yang dilakukan melalui prinsip dari, oleh dan untuk warga negara menjadi fondasi dan tujuannya. Pengajaran pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan di Indonesia adalah implementasi dari UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan adanya Undang-Undang ini diharapkan tidak disalahgunakan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu dan tentunya dapat memberikan manfaat baik peserta didik maupun seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
Pendidikan kewarganegaraan menurut BSNP adalah mata pelajaran yang mengfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk mennjadi warganegara indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945.
Penjabaran PKn oleh BSNP itu bukan semata-mata hanya untuk wacana saja, tetapi juga memiliki tujuan yang berfokuskan pada peserta didik agar mereka memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat indonesia agar hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan tegnologi informasi dan komunikasi.
B. Indikator kegagalan implementasi PKn
Pendidikan dinilai banyak pakar merupakan media paling tepat untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dalam pancasila. Menengok pengalaman beberapa negara Barat yang telah maju dalam berdemokrasi, kepedulian terhadap masa depan demokrasi mereka diwujudkan melalui program pengintegrasian pendidikan demokrasi ke dalam pelajaran pendidikan kewargaan (civic education) dalam pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Inggris misalnya sejak 1997 telah melakukan program pendidikan kewargaan yang mereka namakan democratic citizenship yang diadakan oleh lembaga pendidikan warga negara demokratis, the Education for Democratic Citizenship (EDC). Civic education bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan ”demokrasi” Indonesia itu dirumuskan dalam bermacam model dan nama.
Model pertama dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan sejak 1975. Mata pelajaran ini kemudian pada 1994 diganti dengan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi pendidikan kewargaan tersebut di kenal dengan nama mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila.
Sayangnya bila dikaitkan dengan realitas sosial sekarang ini, agenda nasional pendidikan kewarganegaraan itu lebih tepat dikatakan telah mengalami kegagalan. Tindakan tidak demokratis dengan cara kekerasan masih banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.
Politik pengerahan massa akar rumput masih dominan dijadikan modus politik oleh sebagian elit politik. Perilaku serupa terjadi pula di kalangan generasi muda dalam bentuk tawuran sesama pelajar dan bentrokan fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Kenyataan seperti ini merupakan salah satu indikator kegagalan dari pendidikan kewarganegaraan yang selama ini dilakukan.
Bertolak dari kenyataan tersebut dan peluang memanfaatkan era transisi menuju demokrasi seperti saat ini, reformasi pendidikan kewargaan nasional sudah mendesak dilakukan.
Sebagaimana banyak kalangan menilai, bahwa dalam konteks wacana global tentang demokrasi dan trend civic education serta semangat reformasi di Indonesia, kedua model pendidikan kewarganegaraan nasional di atas dianggap kurang sejalan lagi dengan dua tuntutan reformasi yakni penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Mempertimbangkan peran strategis pelajar dan mahasiswa sebagai penggerak demokratisasi, reformasi substantif dan metodologis pendidikan kewarganegaraan haruslah diterapkan di dalam setiap jenjang pendidikan.
C. Penyebab Kegagalan implementasi PKn
Pembelajaran PKn di sekolah, salah satu penyebab dasar kegagalan PKn adalah masalah pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan dalam dunia pendidikan, selama ini banyak pengajar yang masih menggunakan paradigma atau model pembelajaran ceramah, yaitu murid hanya dijejali materi dengan guru hanya ceramah saja sehingga murid pasif hanya mendengar dan menghafal untuk menghadapi tes akhir dimana soal-soal dalam tes tersebut hanyalah bersifat hafalan.
Bahwa semestinya PKn adalah upaya untuk membentuk kepribadian dan tingkahlaku warganegara yang baik, seharusnya dalam proses pembelajaran siswa lebih banyak diaktifkan dengan memberi kegiatan-kegiatan yang bisa mencerminkan bahwa mereka memiliki sikap yang sesuai dengan keinginan PKn itu sendiri, misal diadakan kerja kelompok, bakti sosial, berkunjung dengan sekolah lain disini bisa dilihat bagaimana tingkah laku dan sikap siswa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Perancangan kurikulum juga sangat berperan untuk pelaksanaan pembelajaran PKn, dan kenyataannya kurikulum yang selama ini digunakan dengan berbagai perbaikan yang dilakukan pemerintah juga belum berhasil dalam upaya keberhasilan PKn.
Sedangkan pembelajaran dalam perguruan tinggi nenurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan :
1. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan.
2. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif.
3. Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis dari pada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik ”jauh panggang dari api” ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.
Kebijakan Baru Semangat Lama. Kebijakan nasional terbaru tentang pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas N0. 267/DIKTI/Kep/2000. Keputusan ini lahir sebagai respon pemerintah terhadap perkembangan situasi politik paska kejatuhan Orde Baru.
Namun patut disayangkan, sekalipun keputusan ini lahir di era reformasi, tetapi secara substansial belum menampakkan pergeseran paradigma hubungan antara negara dan warganegara secara signifikan. Masih kuatnya semangat pendekatan keamanan (security approach) dapat dicermati pada bunyi pasal 5 keputusan tersebut.
Menurut pasal tersebut materi pendidikan kewarganegaraan meliputi empat pokok bahasan yaitu: pengantar pendidikan kewarganegaraan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan politik dan strategi nasional. Sekalipun materi demokrasi dan HAM dijadikan salah satu unusr dari pokok bahasan yang pertama, nampaknya sampai saat ini pihak pemerintah belum merealisasikannya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk kurikulum yang sejalan dengan tuntutan reformasi dan penegakan HAM.
Kuatnya paradigma lama yang lebih mengedapankan kontrol negara (state) atas warga negara dalam keputusan itu dapat pula dicermati pada pernyataan pasal 7 tentang evaluasi belajar MKDU yang sudah diperbaharui itu. Menurut pasal tersebut, evaluasi belajar dinyatakan dengan kalimat, ”dilakukan dengan cara yang memungkinkan terdeteksinya perkembangan sikap tingkah laku mahasiswa”. Dari redaksi pasal ini nampaknya nuansa militeritsik masih begitu kental bersembunyi dibalik kebijakan tersebut.
Pendidikan Kewarganegaraan Model Baru. Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal nampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaran sudah semestinya dilakukan baik peraturan, paradigma, materi maupun pelaksanannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat ditungkan kedalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan demokrasi.
Dalam tataran reformasi metodologi pengajarannya, pendekatan belajar yang berpusat pada mahasiswa (learner-centered) sudah waktunya di terapkan pada perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan mendatang. Menurut Jhon Dewey, tokoh pendekatan belajar ini, mazhab pendekatan ini memusatkan perhatian pada kemampuan analisis mahasiswa terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan (dosen) mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari.
Sealur dengan pendekatan ini, pembelajaran pendidikan kewargaan di sekolah maupun di perguruan tinggi mestilah berlangsung dalam suasana demokratis. Selama pembelajaran berlangsung pendidik dituntut mampu menciptakan suasana kelas yang dinamis, kritis dan menyenangkan.
Pandangan selama ini bahwa pendidik (guru) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sudah waktunya ditinggalkan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran yang demokratis dimana pendidik berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan pelajar merupakan sesuatu yang harus dimiliki pendidik atau siapa saja yang peduli dengan PKn dan kehidupan berdemokrasi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbagai masalah yang ada diatas memperlihatkan masih perlunya dilaksanakan pendidikan kewarganegaraan (civic education) dari tingkat Sekolah Dasar yang dikenal dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) hingga tingkat Perguruan Tinggi. Tetapi bagaimana pelaksanaannya yang tepat supaya tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan itu tercapai, itulah yang menjadi tugas kita para mahasiswa calon guru yang akan terjun langsung dan sebagai pelaksana pembelajaran PKn itu sendiri. Banyak hal yang bisa kita lakukan, misal melakukan pembenahan kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang bisa mendekatkan dirinya dengan realitas harian, contoh : seorang anak diajarkan untuk menghormati hak-hak warga negaranya,dll. Hal ini tidak lepas dari peran negara yang harus bisa menampilkan dirinya sebagai sosok yang kuat yang bisa melindungi hak-hak warga negara dan mengusahakan kemakmuran bagi warganya, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
B. Saran
Kita bisa mengusahakan memberikan pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik, ini bisa membuat peserta didik menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Oleh karena itu, tugas para pendidik, pembuat kebijakan dan anggota civil society lainnya adalah mengkampanyekan pentingnya pendidikan kewarganegaraan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
Dengan pembelajaran yang benar akan terbentuk warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politikkebangsaan dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa serta membangun kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakannya secara demokratis dan beradab.
DAFTAR PUSTAKA
Read more: http://uyunkperduli.webnode.com/news/kegagalan-implementasi-pkn1/
Create your own website for free: http://www.webnode.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar